Dentuman Royalti Ari Lasso: Rp 497 Ribu dari WAMI Buka Luka Lama Industri Musik

Malangtoday.id Sebuah notifikasi transfer bank menjadi bukti nyata yang sulit terbantahkan. Ari Lasso, salah satu vokalis paling ikonik yang pernah dimiliki Indonesia, menerima pembayaran royalti dari Wahana Musik Indonesia (WAMI) senilai Rp 497.000. Angka yang bagi banyak orang mungkin hanya cukup untuk makan seminggu atau belanja bulanan sederhana ini, bagi seorang musisi sekaliber Ari Lasso, adalah sebuah simbol. Simbol dari perjuangan panjang yang belum usai, sebuah sistem yang masih timpang, dan sebuah pertanyaan besar: jika seorang Ari Lasso saja mendapat segini, bagaimana dengan musisi indie dan pencipta lagu pemula?
Insiden ini bukanlah yang pertama. Perseteruan antara Ari Lasso dan WAMI mengenai transparansi dan besaran royalti telah berlangsung lama. Namun, nominal Rp 497 ribu ini berhasil menyulut amunisi dan membuka diskusi publik secara lebih luas, melampaui sekadar konflik personal. Ini adalah puncak gunung es dari masalah struktural dalam ekosistem royalti musik Indonesia.
Membedah Angka Rp 497.000: Dari Mana Asalnya?
Sebelum langsung menghakimi, penting untuk memahami apa yang diwakili oleh angka ini. Royalti yang dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti WAMI biasanya berasal dari berbagai sumber, termasuk:
-
Royalti Penyiaran: TV nasional, radio, dan stasiun televisi kabel.
-
Royalti Publikasi: Penggunaan musik di tempat komersial seperti mal, restoran, hotel, kafe, dan pusat kebugaran.
-
Royalti Digital: Streaming dari platform seperti Spotify, Apple Music, YouTube Music, Joox, dan lainnya.
-
Royalti Mekanikal: Untuk reproduksi fisik dan digital lagu.
Penting untuk dicatat bahwa periode pembayaran royalti ini biasanya triwulanan atau bahkan semesteran. Artinya, angka Rp 497.000 yang diterima Ari Lasso kemungkinan besar adalah akumulasi dari hasil pemutaran lagu-lagunya di berbagai platform tersebut dalam satu periode tertentu. Namun, bagi seorang musisi dengan katalog lagu hits seperti “Cinta Sejati”, “Misteri Ilahi”, “Rahasia Perempuan”, dan puluhan lagu lainnya yang masih terus diputar, angka tersebut tetap terasa sangat tidak masuk akal.
Akar Masalah: Mengapa Nominalnya Bisa Sekecil Itu?
Tuduhan utama yang sering dilayangkan Ari Lasso dan banyak musisi lainnya adalah kurangnya transparansi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seringkali tidak terjawab:
-
Platform mana yang paling banyak memutar lagunya?
-
Berapa kali tepatnya lagu “Cinta Sejati” diputar di radio atau platform streaming dalam periode tersebut?
-
Bagaimana dengan penggunaan lagunya di tempat komersial? Apakah semuanya terlacak dan dilaporkan dengan benar?
Ketidakmampuan WAMI dan LMK pada umumnya untuk melakukan tracking yang komprehensif dan akurat terhadap setiap pemutaran lagu, terutama di ruang publik dan radio-radio daerah, menjadi celah besar. Banyak penggunaan musik yang tidak dilaporkan, sehingga tidak terkalkulasi dalam pembagian royalti.
Selain itu, sistem pembagian royalti yang kompleks juga berpengaruh. Royalti dari streaming, misalnya, dimasukkan ke dalam satu “pool” besar dan kemudian dibagikan berdasarkan market share. Artinya, royalti tidak dibayar per stream, tetapi berdasarkan proporsi total stream seorang artis dibandingkan total stream seluruh platform pada periode itu. Jika ada artis yang sangat dominan (viral), ia akan mengambil porsi yang sangat besar, menyisakan porsi yang lebih kecil untuk artis lainnya.
Dampak Berantai: Tidak Hanya untuk Ari Lasso
Kasus Ari Lasso ini hanyalah contoh paling terang. Dampaknya jauh lebih luas dan menghantam jantung kreativitas musik Indonesia.
-
Musisi Indie dan Pemula Terancam Punah: Bayangkan musisi indie yang lagunya mungkin hanya didengarkan ribuan atau puluhan ribu kali. Mereka bisa saja menerima royalti yang bahkan tidak cukup untuk membayar sewa satu bulan studio rekaman. Ini mematikan motivasi dan menghambat lahirnya bakat-bakat baru.
-
Kualitas Musik Ancam Menurun: Jika penghasilan dari musik tidak lagi menjanjikan, musisi akan kesulitan berinvestasi untuk produksi yang berkualitas, video klip, atau tur musik. Mereka akan terpaksa mencari pekerjaan sampingan yang justru mengalihkan energi kreatifnya.
-
Masa Depan Industri Musik Suram: Industri musik adalah sebuah ekosistem. Jika para pencipta, yaitu musisi dan penulis lagu, tidak sejahtera, maka ekosistem itu akan mati. Label rekaman, produser, studio, dan bahkan event organizer akan kesulitan menemukan talenta yang sustainable.
Lalu, Apa Solusinya? Menuding WAMI Saja Tidak Cukup
WAMI memang berada di garis terdepan dan menjadi sasaran empuk kritik. Namun, masalahnya lebih sistemik dan membutuhkan solusi dari berbagai pihak:
-
Untuk LMK (WAMI dan lainnya): Transparansi mutlak adalah kunci. Mereka harus mampu memberikan laporan detail yang dapat diakses setiap anggotanya, mencantumkan sumber royalti secara jelas. Teknologi juga harus ditingkatkan untuk memaksimalkan penjaringan royalti, terutama dari tempat komersial.
-
Untuk Platform Digital: Platform seperti Spotify dan Apple Music sudah relatif transparan melalui dashboard artisnya. Namun, perlu ada edukasi yang lebih masif kepada musisi Indonesia untuk memahami analytics tersebut dan strategi memaksimalkan pendapatan dari sana.
-
Untuk Pemerintah: Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan penegakan hukum. Sosialisasi tentang pentingnya membayar lisensi musik untuk tempat komersial harus digencarkan. Insentif bagi bisnis yang taat royalti juga bisa menjadi solusi.
-
Untuk Masyarakat (Pendengar): Dukungan kita sangat nyata. Berlangganan layanan streaming legal, menghadiri konser langsung, dan membeli merchandise adalah cara langsung untuk mendukung musisi favorit kita, melampaui royalti yang seringkali tidak pasti.
Kesimpulan: Rp 497.000 adalah Alarm Darurat
Transfer Rp 497.000 kepada Ari Lasso bukanlah lelucon atau kesalahan teknis belaka. Itu adalah alarm darurat yang berbunyi nyaring untuk seluruh industri musik Indonesia. Ini adalah cerminan dari sebuah sistem yang masih sakit.
Kasus ini harus menjadi momentum koreksi kolektif. Momentum untuk menuntut transparansi, mengadopsi teknologi yang lebih baik, dan menciptakan ekosistem yang adil bagi semua pihak. Musik adalah warisan budaya dan identitas bangsa. Sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk memastikan bahwa para penjaga warisan itu—para musisi—dapat hidup layak dari karyanya. Jangan biarkan dentuman royalti yang memilukan ini hanya menjadi berita hari ini, lalu terlupakan esok hari. Suara Ari Lasso adalah suara ratusan, bahkan ribuan musisi Indonesia yang lain. Sudah waktunya kita mendengarkan.