Berita

5 Negara yang Sering Dikaitkan dengan Rasisme dalam Sejarah Modern, Bagaimana dengan Indonesia?

Malangtoday.id – Rasisme, atau paham yang menganggap suatu ras lebih unggul dari ras lainnya, bukanlah fenomena baru. Ia adalah noda hitam dalam perjalanan sejarah umat manusia yang telah memicu konflik, penindasan, dan penderitaan tak terkira. Isu ini bersifat global dan sistemik, melekat dalam sejarah banyak bangsa. Artikel ini akan mengulas lima negara yang memiliki catatan sejarah kelam terkait praktik rasisme secara sistemik dan institusional. Lalu, di akhir, kita akan melihat cermin pada Indonesia: apakah negeri kita yang Bhinneka Tunggal Ika ini masuk dalam kategori negara rasis?

Penting untuk dicatat bahwa menyebut “negara rasis” bukan berarti seluruh penduduknya memegang paham tersebut, melainkan negara tersebut pernah atau masih memiliki kebijakan dan sistem hukum yang secara jelas mendiskriminasi kelompok ras tertentu.

1. Afrika Selatan: Simbol Rasisme Sistemik lewat Apartheid

Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Afrika Selatan adalah contoh paling nyata dan terkini dari negara yang menjalankan rasisme secara sistematis. Kebijakan Apartheid yang berarti “pemisahan” dalam bahasa Afrikaans, secara resmi berlaku dari tahun 1948 hingga awal 1990-an.

Kebijakan Rasisnya:

  • Group Areas Act (1950): Memisahkan tempat tinggal berdasarkan ras. Orang kulit hitam yang merupakan mayoritas, dipindahkan secara paksa ke daerah kumuh yang disebut “townships”.

  • Pass Laws: Warga kulit hitam diwajibkan membawa “buku pass” yang mengontrol pergerakan mereka. Mereka tidak boleh berada di area “khusus kulit putih” tanpa izin khusus.

  • Pencabutan Hak Pilih: Warga non-kulit putih sama sekali tidak memiliki hak suara dalam politik.

Perjuangan panjang figures seperti Nelson Mandela akhirnya mengakhiri rezim Apartheid, tetapi dampak sosial ekonominya masih terasa hingga hari ini.

2. Amerika Serikat: Dari Perbudakan hingga Gerakan Black Lives Matter

AS dibangun di atas fondasi yang kontradiktif: deklarasi kemerdekaan yang menjunjung tinggi kesetaraan, namun praktik perbudakan yang mengerikan. Meski Perang Saudara berakhir dengan penghapusan perbudakan, diskriminasi berlanjut melalui Hukum Jim Crow.

Kebijakan Rasisnya:

  • Hukum Jim Crow (1876-1965): Menerapkan segregasi rasial di tempat umum seperti sekolah, restoran, bus, dan toilet dengan doktrin “separate but equal” (terpisah tapi setara), yang kenyataannya sangat tidak setara.

  • Redlining: Praktik perbankan yang sistematis menolak pinjaman dan asuransi bagi warga kulit hitam yang ingin membeli rumah di lingkungan tertentu, memperlebar kesenjangan ekonomi.

  • Diskriminasi dalam Sistem Peradilan: Isu profiling dan kekerasan polisi terhadap minoritas, khususnya kulit hitam, memicu gerakan sosial besar seperti Black Lives Matter.

3. Myanmar: Penganiayaan Sistematis terhadap Etnis Rohingya

Myanmar menjadi sorotan dunia dalam dekade terakhir akibat kebijakan pemerintahnya yang dinilai melakukan pembersihan etnis terhadap minoritas Muslim Rohingya.

Kebijakan Rasisnya:

  • Penyangkalan Kewarganegaraan: UU Kewarganegaraan 1982 secara resmi tidak mengakui Rohingya sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi negara, membuat mereka menjadi stateless (tidak berkewarganegaraan).

  • Kekerasan dan Pengusiran Paksa: Militer Myanmar dituduh melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran desa, yang memaksa ratusan ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh. PBB menyebutnya sebagai “buku contoh pembersihan etnis”.

4. Australia: Kebijakan “Generasi yang Dicuri” terhadap Penduduk Asli

Sejarah Australia modern diwarnai oleh perlakuan rasis terhadap penduduk asli Benua Australia, Aborigin dan Torres Strait Islander.

Kebijakan Rasisnya:

  • Kebijakan Asimilasi dan “Generasi yang Dicuri”: Dari sekitar tahun 1910 hingga 1970-an, pemerintah federal dan negara bagian secara paksa mengambil anak-anak penduduk asli dari keluarga mereka untuk diasimilasi ke dalam masyarakat kulit putih. Tindakan ini bertujuan untuk “menghilangkan” budaya asli dan menciptakan masyarakat yang homogen.

  • Diskriminasi yang Berkelanjutan: Hingga kini, komunitas Aborigin masih mengalami ketimpangan yang signifikan dalam hal kesehatan, harapan hidup, pendidikan, dan tingkat inkarserasi (penahanan di penjara).

5. Jepang: Rasialisme yang Terselubung dan Diskriminasi terhadap Minoritas

Jepang sering kali dipandang sebagai negara yang homogen secara etnis. Pandangan ini justru meminggirkan kelompok minoritas yang ada dan menciptakan bentuk rasialisme yang halus namun mengakar.

Kebijakan Rasisnya:

  • Diskriminasi terhadap Eta/Hinin (Burakumin): Kelas sosial yang secara historis dianggap “tercela” karena pekerjaannya (seperti penyamakan kulit, algojo). Meski secara resmi dihapus, diskriminasi terhadap keturunan Burakumin dalam pernikahan dan pekerjaan masih terjadi.

  • Perlakuan terhadap Warga Korea Zainichi: Kelompok minoritas Korea yang telah menetap di Jepang selama beberapa generasi masih sering mengalami prasangka dan diskriminasi sistemik, termasuk dalam perekrutan kerja dan perumahan.

  • Xenophobia: Sebagai negara dengan imigrasi yang ketat, sentimen anti-orang asing masih kuat di sebagian segmen masyarakat Jepang.

Lalu, Bagaimana dengan Indonesia?

Pertanyaan ini yang paling krusial. Apakah Indonesia masuk dalam daftar “negara rasis” seperti kelima negara di atas? Jawabannya kompleks.

TIDAK, dalam konteks rasisme sistemik/institusional.
Indonesia tidak pernah memiliki undang-undang atau konstitusi yang secara resmi memisahkan atau mendiskriminasi warga berdasarkan ras, seperti Apartheid di Afrika Selatan atau Hukum Jim Crow di AS. Pancasila, khususnya Sila ke-3 “Persatuan Indonesia” dan Bhinneka Tunggal Ika, justru menjadi fondasi resmi yang menolak paham rasial. UUD 1945 juga menjamin kesetaraan warga negara di depan hukum.

YA, dalam konteks praktik rasialisme individual dan sosial.
Sayangnya, Indonesia bukanlah surga yang bebas dari rasisme. Praktik rasial masih hidup dalam bentuk:

  • Stereotip dan Prasangka: Stereotip negatif terhadap etnis tertentu masih sering ditemui dalam percakapan sehari-hari dan media sosial.

  • Diskriminasi dalam Pekerjaan: Lowongan kerja yang mensyaratkan “kriteria penampilan tertentu” yang cenderung mendiskriminasi ras atau suku tertentu masih kerap muncul.

  • Intoleransi terhadap Kelompok Minoritas: Kelompok minoritas agama dan etnis tertentu masih sering mengalami intoleransi, prasangka, hingga perlakuan yang tidak adil.

  • Rasialis terhadap Papua: Isu rasialisme terhadap orang Papua adalah contoh paling nyata, dimana mereka sering mengalami stereotip, pelecehan, dan perlakuan diskriminatif di berbagai wilayah Indonesia.

Kesimpulan:
Kelima negara dalam daftar di atas memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana rasisme yang dilembagakan dapat menyebabkan penderitaan besar. Indonesia patut bersyukur tidak memiliki sejarah kelam semacam itu secara sistemik. Namun, kita tidak boleh berpuas diri.

Rasisme di Indonesia mungkin tidak sistemik, tetapi ia bersifat sosial dan kultural. Tugas kita bersama adalah terus mengingat semangat Bhinneka Tunggal Ika, memberantas stereotip, menegakkan hukum secara adil, dan membangun kesadaran bahwa keindahan Indonesia justru terletak pada keberagamannya. Rasisme bukanlah warisan yang kita inginkan untuk generasi mendatang.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button