Beritahukumkriminal

Hakim Djuyamto Cs Dibui 11 Tahun — Keserakahan Ruas Palu, Marwah Peradilan Tercoreng

malangtoday.id – Majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara kepada Djuyamto serta dua hakim lain — Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom — atas terbukti menerima suap dalam perkara vonis lepas ekspor crude palm oil (CPO).

Pengadilan menjatuhkan denda Rp 500 juta kepada masing-masing terdakwa. Jika mereka tidak membayar denda tersebut, mereka langsung menjalani tambahan kurungan selama 6 bulan.

Selain hukuman penjara dan denda, pengadilan mewajibkan mereka membayar uang pengganti. Djuyamto harus menanggung Rp 9,21 miliar, sementara Agam dan Ali masing-masing harus membayar Rp 6,4 miliar. Jika mereka tidak mampu membayar, mereka akan menjalani tambahan hukuman penjara hingga 4 tahun.

Ketiganya kini dipaksa mempertimbangkan apakah akan menggunakan hak banding dalam tenggat tujuh hari ke depan.

Keserakahan, Bukan Kebutuhan — Dalih Pemberat

Hakim ketua majelis menegaskan bahwa motif penerimaan suap itu bukan berasal dari kebutuhan atau tekanan ekonomi. Mereka bertindak atas dasar “keserakahan” — istilah yang disebut sebagai “corruption by greed”, bukan “by need”.

Tim pengadilan menilai tindakan ini secara serius mencederai integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

Perbuatan ini juga dianggap mencoreng nama baik lembaga yudikatif sebagai benteng terakhir keadilan di negeri ini. Hakim mengutip bahwa pimpinan Mahkamah Agung (MA) sudah berulang kali menyerukan agar seluruh warga peradilan menjunjung tinggi moral dan etika — namun para terdakwa malah mengabaikan amanah itu.

Suap Miliaran dari Kasus Ekspor CPO — Fakta Terkuak

Penelusuran kasus menunjukkan bahwa suap itu berawal dari penanganan perkara korporasi besar yang mengurus izin ekspor CPO atau minyak goreng.

Tim penyidikan melaporkan total dana suap mencapai sekitar Rp 40 miliar. Djuyamto menerima bagian terbesar, sementara Agam dan Ali menerima porsi yang lebih kecil.

Para pengacara dari korporasi besar memberikan suap dan memengaruhi majelis hingga mereka menjatuhkan vonis lepas kepada perusahaan-perusahaan terkait ekspor CPO.

Publik sempat menganggap vonis lepas itu sebagai kemenangan korporasi, namun fakta membuktikan bahwa mereka membeli putusan tersebut melalui suap dan praktik korupsi, sehingga tindakan itu menghantam keras supremasi hukum di Indonesia.

Dampak ke Publik dan Harapan Pemulihan Integritas

Putusan ini menunjukkan bahwa sistem peradilan pun bisa diselewengkan — ketika keadilan dibayar di balik meja gelap. Publik kini menyaksikan bahwa korupsi mampu menyusup ke badan yang seharusnya menjaga hukum dan moral.

Kasus ini menimbulkan kekecewaan mendalam. Orang-orang berharap agar hukuman tak berhenti di penjara maupun denda: penyitaan aset, transparansi pengadilan, dan reformasi internal harus menjadi langkah nyata agar kepercayaan publik kembali pulih.

Kesimpulan

Putusan 11 tahun penjara untuk Djuyamto dan dua rekannya memberi pesan kuat: tidak ada toleransi terhadap korupsi vonis. Hakim harus benar-benar menjalankan amanah sebagai penegak keadilan, bukan mencari keuntungan lewat suap.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button