
Malangtoday.id – Rumah Sakit Bali akhirnya buka suara mengenai kasus jantung turis Australia yang tidak ikut dipulangkan bersama jenazah. Kulit berita ini pecah ketika keluarga di Australia menemukan bahwa jantung Byron Haddow (23) tidak ada dalam tubuh jenazahnya saat otopsi ulang di negaranya. RSUP Prof Ngoerah di Denpasar menjelaskan langkah medis mereka, sambil membantah tudingan penundaan atau pungutan tak wajar.
Kronologi Singkat Kasus
Byron ditemukan meninggal di sebuah vila di kawasan Kerobokan, Badung. Setelah kejadian itu, jenazahnya tetap berada di Bali hingga proses pemulangan pada 12 Juni 2025. Namun otopsi di Australia menegaskan bahwa organ jantung tidak ikut bersama jenazah tersebut. Keluarga kemudian mengungkapkan bahwa jantung Byron “ditinggal” atau ditahan di Bali.
RSUP Prof Ngoerah memastikan mereka sudah memberi tahu keluarga sejak awal bahwa jantung masih dalam tahap pemeriksaan forensik sehingga belum bisa dipulangkan bersamaan dengan bangkai utama.
Penjelasan Rumah Sakit: Proses Autopsi dan Penanganan Organ
Direktur Medik dan Keperawatan RSUP Prof Ngoerah, I Made Darmajaya, menegaskan pihak rumah sakit menyerahkan organ jantung ke pihak pemakaman pada 21 Juli 2025. Ia menyatakan bahwa otopsi terhadap organ vital seperti jantung tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Mereka membutuhkan pemeriksaan menyeluruh agar bisa menentukan letak kelainan atau kerusakan pada organ tersebut.
Kepala Instalasi Forensik RSUP Ngoerah, Kunthi Yulianti, menyatakan pihaknya sama sekali tidak meminta biaya tambahan kepada keluarga turis. Menurut dia, proses pengiriman jenazah dan jantung sepenuhnya dikelola oleh perusahaan jasa pemakaman. Ia menolak tuduhan bahwa pihak rumah sakit menagih Rp 7 juta (AUD 700) dari keluarga.
Ahli forensik penanggung jawab, Nola Margareth Gunawan, menyebut laporan autopsi dan hasil pemeriksaan jantung telah diberikan kepada keluarga setelah organ itu dikirim ke Australia. Ia menolak permintaan agar semua detail prosedur medis dijelaskan secara publik karena menyangkut kerahasiaan kedokteran.
Tudingan Biaya Tambahan dan Repatriasi Organ
Keluarga Byron menuduh bahwa rumah sakit atau pihak terkait meminta tambahan AUD 700 (± Rp 7 juta) agar jantung bisa dipulangkan. Tuduhan itu muncul karena keluarga menemukan bahwa jantung Byron baru diserahkan ke perusahaan pemakaman setelah beberapa minggu, sedangkan jenazah sudah dikirim terlebih dahulu.
Namun RSUP Prof Ngoerah menyatakan jelas bahwa mereka tidak mengurus pengiriman jenazah atau organ ke Australia. Semua urusan repatriasi, termasuk pengiriman jantung, justru ditangani oleh pihak pemakaman. Kunthi menyebut bahwa rumah sakit hanya menyerahkan organ tersebut kepada penyedia layanan pemakaman setelah pemeriksaan forensik selesai.
Reaksi Keluarga dan Seruan Klarifikasi Diplomatik
Keluarga Byron tetap menyuarakan ketidakpuasan mereka. Mereka mempertanyakan dasar hukum penahanan jantungnya, alasan otopsi terpisah antara tubuh dan jantung, serta kurangnya permintaan izin dari keluarga. Mereka merasa pihak rumah sakit dan lembaga forensik di Bali belum memberi kejelasan memadai.
Pemerintah Australia pun ikut terlibat. Canberra meminta klarifikasi resmi dari Indonesia mengenai nasib jantung Byron. Pemerintah Australia melalui pihak konsuler mendesak agar kasus ini dijelaskan secara transparan. Pemerintah Indonesia belum memberi tanggapan resmi terkait nota diplomatik tersebut.
Catatan Penting dan Tantangan Teknis
-
Autopsi terhadap organ vital butuh waktu
Autopsi jantung memerlukan perhatian detail dan pemeriksaan mikroskopis. Rumah sakit menyebut bahwa mereka harus memotong jaringan secara tipis-tipis dan memeriksa struktur dalam seperti irama otot dan pembuluh darah. -
Pemisahan pengiriman organ dan jenazah tidak ilegal bila prosedur benar
Jika organ masih diperlukan untuk pemeriksaan forensik, rumah sakit berwenang menahan sementara sebelum dilepaskan. Namun pihak rumah sakit harus memberi penjelasan jelas dan mendapatkan izin keluarga jika diperlukan. -
Pihak pemakaman memang memegang peran besar dalam repatriasi
RS menjelaskan bahwa mereka menyerahkan organ ke layanan pemakaman, dan perusahaan itu yang menanggung biaya pengiriman ke Australia. Jika terjadi ketidakjelasan dalam komunikasi antara rumah sakit, pemakaman, dan keluarga, maka muncul konflik persepsi seperti kasus ini. -
Transparansi dan hak akses laporan medis
Keluarga berhak memahami prosedur medis, alasan penahanan organ, dan dasar hukum. Rumah sakit mengaku sudah menyerahkan laporan autopsi saat organ dikembalikan, tetapi keluarga masih meragukan isi atau timing-nya.
Kesimpulan dan Implikasi
Rumah Sakit Bali melalui RSUP Prof Ngoerah telah memberikan penjelasan aktif mengenai kasus jantung turis Australia yang tak ikut dipulangkan. Mereka menegaskan bahwa penahanan organ itu bagian dari proses autopsi forensik rutin yang memang memerlukan waktu. Mereka juga menyanggah tuduhan pungutan biaya tambahan kepada keluarga. Pihak rumah sakit menyatakan bahwa pengiriman organ berada di tangan jasa pemakaman, bukan rumah sakit.
Namun keluarga tetap menolak pemahaman itu. Mereka menuntut transparansi penuh, dasar hukum penahanan organ, dan pertanggungjawaban atas komunikasi yang dianggap kurang. Pemerintah Australia turut menggemakan suara itu dengan meminta klarifikasi diplomatik kepada Indonesia.
Kasus ini menyorot perlunya protokol medis dan hukum yang jelas dalam pengelolaan organ tubuh seseorang setelah kematian, terutama di kasus internasional. Rumah sakit, lembaga forensik, pemakaman, dan pihak keluarga harus bisa saling berkoordinasi dan menjaga komunikasi terbuka. Bila tidak, konflik persepsi dan kecurigaan mudah muncul.