
Malangtoday.id – Marxisme di Indonesia tidak muncul dalam satu wujud tunggal. Dua tokoh kiri besar di Indonesia, Tan Malaka dan D. N. Aidit, mengusung Marxisme dengan gaya berbeda. Memahami perbedaan keduanya memberi wawasan tentang keberagaman ide di balik komunisme Indonesia.
Latar Pemikiran
Tan Malaka lahir pada 1897, tumbuh dari tradisi Islam dan perjuangan nasional. Ia memadukan gagasan Marxis dengan nilai lokal dan spiritual. Ia menyusun Madilog sebagai sintesis antara materialisme dialektika, logika dan nilai budaya lokal.
D. N. Aidit lahir pada 1923. Ia berkembang dalam lingkungan gerakan kiri masa kemerdekaan dan menekankan organisasi politik praktis. Ia memimpin PKI serta membangun jaringan massa dan aliansi strategis.
Kedua sosok itu sama-sama mengakui pentingnya perjuangan kelas dan anti-imperialisme. Namun cara mereka mengekspresikannya sangat berbeda.
Ideologi dan Nilai Agama
Tan Malaka melihat agama (terutama Islam) bukan sebagai musuh revolusi. Ia percaya Islam bisa beriringan dengan Marxisme dalam melawan kolonialisme dan sistem penindas. Ia menyatakan bahwa Marxisme tidak harus meniadakan unsur spiritual selama tidak menghalangi perjuangan sosial.
Aidit, sebaliknya, menempatkan Marxisme-Leninisme sebagai dasar aksi politik. Ia lebih menekankan pembebasan material dan organisasi massa ketimbang rekonsiliasi dengan nilai agama. Dalam praktiknya, ia memfokuskan aktivitas politik dan ideologi secara sekuler.
Strategi Revolusi dan Organisasi
Tan Malaka tidak percaya revolusi harus lewat kekerasan atau militer semata. Ia menaruh kepercayaan besar pada kekuatan massa, intelektual, budaya, dan revolusi nasional. Ia menolak dominasi militer dalam perubahan sosial.
Ia juga menekankan bahwa konteks Indonesia berbeda dengan Eropa — struktur kelas tidak identik, masyarakat agraris mendominasi. Ia menyarankan agar revolusi nasional-demokratis mendahului sosialisme — langkah sementara untuk mencapai revolusi lebih menyeluruh.
Aidit membangun PKI melalui metode politik massa: organisasi pemuda, petani, wanita, budaya, dan media propaganda. Ia percaya revolusi tidak bisa hanya dengan idealisme; harus ada partai yang berakar kuat dan bekerja di ranah masyarakat nyata.
Aidit juga bersikap fleksibel dalam membangun aliansi. Ia menjalin kerja sama dengan kelompok nasionalis dan Gerakan Nasional tanpa langsung mengusung perebutan kekuasaan segera. Ia berani beradaptasi dengan situasi politik agar PKI makin relevan.
Penerapan Ide dan Dampaknya
Tan Malaka menekankan bahwa Marxisme tak boleh memaksakan model Barat secara utuh. Ia menyaring ide-ide Marx agar sesuai budaya lokal. Ia mengkritik komunisme dogmatis dan menolak dominasi instruksi pusat.
Konsep Madilog menegaskan bahwa pikiran rakyat harus bebas dari logika mistis dan dogma yang buta. Ia mendorong pemikiran rasional dan logika dialektis agar rakyat tak tertindas oleh ideologi asing.
Aidit, dalam kerja nyata, mengorganisir massa lewat pendidikan politik, propaganda, organisasi partai dan penerjunan kader hingga ke desa-desa. Ia mempraktikkan Marxisme dalam skala besar melalui PKI.
Dampak terbesar pemikiran Aidit tampak saat PKI menjadi partai besar dan punya pengaruh nyata di kalangan petani dan buruh. Namun, keterlibatannya dalam konflik politik ikut memainkan peran dalam peristiwa G30S/PKI.
Tan Malaka lebih menghasilkan warisan ideologis dan filsafat. Ia tidak memimpin revolusi massa besar, tetapi gagasannya tetap dihidupkan dalam pemikiran kiri di Indonesia.
Kekuatan dan Kelemahan
Kekuatan Tan Malaka: visinya memadukan lokalitas dan nilai moral. Ia mampu menjembatani agama dan Marxisme. Gagasan strategisnya sangat cocok di masyarakat plural.
Kelemahannya: ia tidak mampu membangun organisasi massa luas seperti PKI. Gagasan tinggi tanpa kekuatan struktural membuat ia kurang berpengaruh pada arena politik massa secara langsung.
Kekuatan Aidit: ia punya organisasi kuat, jaringan massa, dan kemampuan politik tingkat tinggi. Dia bisa membawa Marxisme ke ranah praktis.
Kelemahannya: kecenderungan pragmatisme bisa menjadikan ideologi luntur. Ketergantungan pada kekuatan massa dan politik bisa mereduksi aspek teori dan moral yang lebih dalam.
Kesimpulan
Tan Malaka dan D. N. Aidit mengusung Marxisme dengan cara berbeda. Tan Malaka meracik Marxisme dengan nilai lokal, spiritual, dan budaya. Aidit menjadikan Marxisme sebagai panduan aksi politik massa yang pragmatis.
Keduanya menguji bahwa ideologi besar tak mutlak satu bentuk. Dalam konteks Indonesia, kita bisa memetik pelajaran bahwa teori harus berjalan bersama praktik, dan idealisme mesti meresap ke akar sosial masyarakat.