
Malangtoday.id – Polisi menyita beberapa buku dari seorang aktivis dalam kasus kerusuhan di Jawa Timur. Tindakan itu memantik kritik keras dari berbagai pihak. Langkah aparat kini tampak berseberangan dengan visi Presiden Prabowo Subianto soal literasi, demokrasi, dan penghormatan HAM.
Penyitaan buku bertujuan menyelidiki dugaan pengaruh isi bacaan terhadap tindakan tersangka. Namun banyak pengamat dan pihak HAM menilai penyitaan itu melampaui batas. Mereka menyebut tindakan ini merusak tradisi membaca publik serta menabrak arah kebijakan negara yang memuliakan pengetahuan dan kebebasan berekspresi.
Kronologi Kasus Penyitaan Buku
Kerusuhan pecah di Surabaya hingga Sidoarjo beberapa waktu lalu. Aparat menangkap 18 orang, termasuk aktivis literasi yang berinisial GLM (24). Dari rumah tersangka, polisi menyita 11 buku. Judul-judul itu mencakup Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno, Anarkisme karya Emma Goldman, Strategi Perang Gerilya karya Che Guevara, dan buku lain.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur menyatakan penyitaan buku diperlukan untuk menelusuri pengaruh pandangan ideologis. Sementara Kapolda menegaskan bahwa membaca tidak dilarang, tetapi penerapan ide berbahaya yang dilarang.
Kritik KemenHAM dan Koherensi dengan Visi Presiden
Kementerian HAM menyatakan tindakan polisi itu “tidak sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto”. Staf Ahli KemenHAM, Rumadi Ahmad, menyebut penyitaan buku merusak tradisi literasi dan demokrasi.
Rumadi menegaskan bahwa visi Presiden, terutama dalam Asta Cita poin pertama, menekankan penguatan ideologi Pancasila, demokrasi, dan penghormatan HAM. Maka tindakan penyitaan buku ideologis bertentangan dengan visi itu.
Ia juga mengutip Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)—yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005—untuk melegitimasi bahwa setiap warga negara punya hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan gagasan dalam bentuk apa pun.
Mengapa Buku Ditakuti?
Langkah penyitaan buku menghadirkan sinyal kekhawatiran terhadap pemikiran kritis. Buku kini dianggap tidak netral—melainkan sebagai alat ideologi yang bisa memicu tindakan. Penggunaan buku sebagai barang bukti ideologis menimbulkan pertanyaan: apakah negara boleh membatasi bacaan?
Beberapa pengamat menyebut bahwa polisi menggeser sudut pandang: buku bukan hanya objek, melainkan entitas yang memiliki potensi pengaruh. Dengan begitu, pembacaan ide pun ikut dinilai kriminal.
Fenomena ini menciptakan efek gentar (chilling effect). Mahasiswa, aktivis, dan pembaca independen bisa takut membaca buku yang dianggap kontroversial. Kebebasan akademik bisa ikut terganggu.
Dampak terhadap Demokrasi dan Kebijakan Literasi
Kebebasan baca menjadi pilar dalam demokrasi deliberatif. Tanpa ruang ide yang terbuka, warga sulit mengkritik kebijakan dan struktur kekuasaan. Tindakan penyitaan buku justru mengekang ruang publik bagi pemikiran alternatif.
Visi Prabowo ingin memperkuat budaya literasi sebagai landasan demokrasi. Jika aparat menyita buku, pesan publik yang tersampaikan malah sebaliknya: negara takut pada pemikiran. Hal ini berpotensi menciderai kredibilitas pemerintah di mata warga dan pemangku kepentingan intelektual.
Kasus ini juga menuntut reformasi di tubuh kepolisian. Aparat harus memperbaiki pola pikir agar lebih menghargai hak asasi dan kebebasan berekspresi. Untuk menjaga konsistensi pemerintah, aparat tidak boleh berjalan berbeda dari visi Presiden sendiri.
Kesimpulan
Penyitaan buku oleh polisi baru-baru ini tidak sekadar soal penegakan hukum. Tindakan itu mencerminkan ketegangan antara keamanan dan kebebasan. Dalam konteks visi Prabowo yang menekankan pentingnya literasi, demokrasi, dan hak asasi, penyitaan buku itu jelas bertabrakan dengan arah kebijakan nasional.