
Malangtoday.id – Semasa kejayaannya, Martias Fangiono memegang reputasi sebagai “raja sawit” Indonesia. Ia membangun Surya Dumai Industri yang beroperasi dari industri kayu hingga menjadi salah satu pemain besar di sawit dan perkebunan.
Ketika masih muda, ia mendirikan pabrik kayu di Bengkalis, Riau. Ia lalu memperluas usaha ke tanah kelapa sawit, mengambil alih hutan dan konsesi besar agar produksi tanaman monokultur tumbuh pesat.
Pada 1990-an, Surya Dumai tumbuh pesat dan tercatat di bursa Indonesia. Namun, di balik ekspansi itu, muncul tuduhan bahwa Martias menggunakan konsesi sebagai kedok penebangan hutan secara ilegal.
Transformasi & Keruntuhan Emporionya
Sekitar awal 2000-an, otoritas mula menggali pola penyalahgunaan izin konsesi. Martias dituduh melewati mekanisme legal untuk membuka lahan. Ia memerintahkan anak buah agar lisensi konsesi disetujui, lalu menebang hutan meskipun tanaman sawit hampir tak terlihat.
Meski ranah formal nya rubuh, keluarga Fangiono tak menyerah. Putranya, Ciliandra Fangiono, mendirikan First Resources dan mengklaim bahwa Martias tak lagi punya peran operasional. Namun, relasi kepemilikan antar perusahaan bayangan tetap berhembus.
Jaringan Bayangan & Diversifikasi Bisnis
Peneliti menemukan bahwa bisnis keluarga Fangiono tersebar lewat perusahaan-perusahaan “bayangan” yang menjalin struktur silang. Perusahaan seperti FAP Agri dan CAA muncul sebagai anak atau rekan yang dimiliki melalui trust luar negeri.
Merauke Sugar Group menambah dimensi baru. Keluarga Fangiono kini mengendalikan konsesi gula di Papua hingga ratusan ribu hektar. Beberapa proyek bagian dari program nasional swasembada tebu juga menimbulkan kontroversi terkait izin lingkungan.
Proyek gula ini melibatkan peta besar, investasi triliunan rupiah, dan klaim bahwa ia bertindak sebagai investor strategis di balik nama-nama perusahaan nominal.
Skandal Pajak & Persoalan Kepatuhan Fiskal
Kini isu pajak menjadi titik perhatian tajam. Beberapa lembaga memperkirakan bahwa selama bertahun-tahun Martias dan anak-anaknya menggunakan struktur perusahaan internasional untuk mengalihkan pendapatan dan mengurangi beban pajak.
Beberapa aktivis menuntut KPK dan Kejaksaan agar mengaudit seluruh HGU serta lelang lahan yang digunakan dalam bisnis sawit dan gula. Mereka menuding sejumlah pihak menggelapkan pajak dan mengabaikan kewajiban PSDH-DR (provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi).
Baru-baru ini, publik memprotes proyek tebu di Merauke karena pemerintah dan perusahaan membuka hutan untuk pembangunan pabrik serta lahan tebu tanpa menjalankan proses AMDAL secara transparan dan tanpa memberi kompensasi kepada masyarakat adat. Pengamat fiskal menilai konflik izin tersebut muncul karena adanya alih modal dan upaya penghindaran pajak.
Warisan & Tantangan Reputasi
Kini reputasi Martias dan keluarga Fangiono berada dalam tekanan publik. Di satu sisi mereka berhasil menjaga pengaruh bisnis meski Surya Dumai runtuh. Di sisi lain, tuduhan lingkungan, korupsi, serta penghindaran pajak menggerogoti legitimasi mereka.
Keluarga menggunakan pemegang saham nominal (nominee) untuk menyembunyikan “pemilik sesungguhnya” dari proyek besar. Misalnya, Angelia Sudirman tercatat sebagai pemilik nominal Merauke Sugar Group. Namun spekulasi kuat menyebut bahwa sebenarnya keluarga Fangiono tetap memegang kendali nyata.
Para pegiat lingkungan meminta lembaga negara agar tidak segan menyita lahan yang ilegal dan memaksa penyelidikan pajak terhadap kepemilikan keluarga. Mereka juga menuntut transparansi struktur kepemilikan konsesi besar serta audit independen atas alih fungsi lahan hutan.