
Malangtoday.id – Transaksi mobil di Pondok Aren, Tangerang Selatan, awalnya terlihat normal. Dua pelaku, yang kita sebut sebagai MAM dan NN, memulai proses over kredit mobil Alphard. MAM memberikan “pesanan” kepada NN, sementara NN membayar Rp 75 juta dari total utang sekitar Rp 400 juta. Namun, setelah itu, NN menjual mobil itu kepada pihak lain tanpa persetujuan MAM.
MAM tak bisa diam. Ia mulai menuntut kejelasan. Ketika NN tak bisa memenuhi kewajiban, MAM bergerak lebih ekstrem. Ia menculik NN, menahannya selama tiga minggu, dan menelusuri siapa yang membeli mobil itu.
NN kemudian berkomunikasi dengan calon pembeli, I. Ia menyatakan akan menjual mobilnya. I mentransfer Rp 49 juta ke NN. Namun pertemuan tatap muka berubah menjadi perangkap. I, istrinya (DJ), dan dua rekannya (NA dan AAM) diculik saat bertemu di angkringan Jagakarsa.
Para pelaku membawa para korban ke rumah di Pondok Aren milik tersangka MA, rekan bisnis MAM. Mereka menyekap korban di sana. MA turut membantu dengan meminjamkan rumah tanpa mengungkapkan keterlibatannya penuh.
Detil Kekerasan dan Penyiksaan terhadap Korban
Korban Indra (I) menyebut bahwa pelaku menyiksa mereka secara brutal. Pelaku menggunakan cambuk dari selang, kabel, bahkan gantungan baju untuk menyiksa. Beberapa disundut rokok agar takut.
Penyiksaan menimbulkan luka di bagian punggung, muka, kaki hingga kepala. Beberapa korban bahkan mengalami pembengkakan pada bibir dan dahi.
Polisi menangkap total sembilan tersangka: MAM, NN, VS, HJE, S, APN, Z, I, MA. MAM dan NN menjadi otak utama aksi ini. Mereka bertindak sebagai perencana, eksekutor, sekaligus pemeras.
Beberapa tersangka lain berperan menjaga korban, merekam video penganiayaan, atau menyediakan tempat sekapan. Salah dua anggota TNI AL disebut ikut disewa sebagai pengamanan di lokasi penyekapan.
Motif & Pola Modus Operandi
Modus awal berjalan lewat over kredit mobil yang tak resmi. Pelaku menawarkan mobil, kemudian menyuruh calon pembeli mentransfer uang sebelum mobil sampai. Mereka menggunakan skema jual beli fiktif sebagai kedok.
Penculikan muncul ketika pelaku merasa terancam akibat kewajiban pembayaran tak terpenuhi. Mereka menyandera korban agar mengungkap lokasi mobil atau uang tambahan. Pelaku juga melakukan pemerasan via ancaman dan kekerasan.
Adanya keterlibatan penyewaan rumah, peran “penjaga” bersenjata, dan bantuan dari pihak luar (seperti anggota TNI yang disewa) menunjukkan bahwa kasus ini bukan kejahatan sederhana. Ia menunjukkan karakter sindikat yang terstruktur.
Respons Kepolisian dan Proses Hukum
Polda Metro Jaya bergerak cepat. Tim Resmob menahan sembilan pelaku dan menyelidiki peran mereka secara mendalam. Polisi menyita barang bukti berupa kabel, selang, rumah untuk penyekapan, dan dokumen transaksi.
Polri juga akan berkoordinasi dengan POM AL untuk mendalami penyewaan dua anggota TNI AL sebagai “pengamanan” lokasi penyekapan.
Polisi memeriksa kemungkinan jaringan serupa di wilayah lain. Mereka menelisik keterkaitan antara bisnis jual beli mobil ilegal dengan aksi pemerasan dan penculikan.
Para pelaku kini menghadapi dakwaan yang meliputi penculikan, penyiksaan, pemerasan, dan kejahatan kekerasan lainnya. Hukum diproses agar pelaku mendapat sanksi maksimal.
Pelajaran & Imbauan untuk Masyarakat
Kasus ini mengingatkan bahwa jual beli mobil—terutama transaksi over kredit atau skema yang tidak transparan—bisa membawa risiko besar. Siapa pun harus:
-
Memastikan legalitas unit mobil dan dokumen sebelum membeli
-
Mengecek latar belakang penjual atau perantara
-
Menghindari transaksi tunai penuh sebelum serah terima
-
Menggunakan metode pembayaran aman dan kebutuhan jaminan
-
Bersikap waspada terhadap tawaran harga murah yang terlalu mencolok
Selain itu, masyarakat harus bersama-sama melaporkan dugaan kejahatan ke polisi, agar tindak kriminal seperti ini tak berkembang. Pemerintah dan aparat hukum juga harus memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap pasar mobil bekas dan over kredit.
Kasus jual beli mobil di Tangsel yang berubah menjadi aksi penculikan dan penyiksaan ini bersifat peringatan keras. Ia menegaskan bahwa di balik transaksi “wajar” bisa tersembunyi potensi bahaya ketika niat buruk muncul. Ke depannya, masyarakat harus menuntut transparansi dan perlindungan hukum agar aktivitas jual beli tak lagi berubah menjadi mimpi buruk.