
malangtoday.id – Pemerintah sering mengandalkan projek “mega food estate” sebagai solusi untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun, hingga kini banyak proyek itu kandas.
Beberapa proyek gagal total, sebagian hanya berjalan setengah jalan, dan sisanya menyisakan lahan mangkrak serta konflik sosial.
Kita perlu memahami akar masalah kegagalan itu agar tidak terus mengulang kesalahan.
1. Tanah Tidak Sesuai dengan Komoditas yang Dipilih
Proyek sering dipaksakan pada tanah gambut, lahan pasir, atau dataran tinggi yang tidak cocok untuk padi atau tanaman pokok lain.
Di Kalimantan Tengah, misalnya, lahan yang direncanakan untuk tanaman singkong ternyata berupa pasir tipis — tanaman gagal tumbuh.
Dalam beberapa kasus, petani harus menghentikan produksi karena tanaman tak tumbuh normal.
Pilihan komoditas juga sering lepas dari kondisi lokal. Tanaman monokultur dan komersial dominan, sedangkan sistem pertanian lokal diabaikan.
2. Perencanaan dan Studi Kelayakan Lemah
Pemerintah kerap memberi izin proyek besar tanpa kajian lingkungan, sosial, dan ekonomi yang mendalam.
Beberapa proyek tidak mempertimbangkan pola curah hujan, karakter tanah, akses air, dan topografi.
Strategi pengembangan berjalan parsial, tidak menyeluruh maupun terintegrasi — tenaga kerja dipersiapkan asal-asalan.
Mentan menyebut, proyek food estate gagal karena pendekatan parsial dan tidak holistik.
3. Rendahnya Pendampingan Teknologi dan Kapasitas Lokal
Setelah lahan dibuka, pemerintah sering meninggalkan petani lokal tanpa pendampingan teknologi modern.
Alat berat dan teknologi canggih disediakan, tetapi petani tidak diperkenalkan pada penggunaannya.
Seandainya pendampingan aktif berlangsung, kemungkinan proyek bisa berjalan lebih baik.
Mentan berkata bahwa proyek bisa gagal “karena kita datang, lalu tinggalkan mereka tanpa teknologi.”
4. Keterlibatan Korporasi dan Motif Keuntungan
Mega proyek pangan sering melibatkan perusahaan besar sebagai pengelola.
Petani lokal justru menjadi mitra subordinat, bukan pemain utama.
Beberapa lahan kemudian dikonversi untuk tanaman seperti sawit yang lebih menguntungkan secara ekonomi.
Korupsi dan kolusi juga muncul karena anggaran besar dan pengawasan lemah.
5. Konflik Lahan dan Penggusuran Petani Lokal
Pembukaan lahan untuk proyek sering mengabaikan hak masyarakat adat dan petani.
Tanah milik masyarakat diambil alih tanpa kompensasi adil.
Akses masyarakat terhadap sumber pangan tradisional berkurang drastis.
Ketika konflik muncul, proyek langka mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar.
6. Ketidakpastian Iklim dan Risiko Lingkungan
Mega proyek pangan menghadapi risiko ekstrem: kekeringan, banjir, kebakaran lahan.
Pembukaan hutan gambut memicu emisi karbon tinggi dan merusak ekosistem.
Lingkungan rusak, tanah kehilangan kesuburan, dan proyek tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
7. Kurangnya Evaluasi dan Akuntabilitas
Setiap kali proyek gagal, pemerintah tampak lambat mengevaluasi dan memperbaiki strategi.
Proyek baru tetap muncul tanpa koreksi fatal kesalahan masa lalu.
Publik dan media menyuarakan kritik, tetapi dampak nyata sering minim.
Dinamika Terbaru yang Membuka Wajah Gagalnya Mega Food Estate
-
Kementerian Pertanian menyatakan proyek di Gunung Mas (Kalteng) gagal total, karena lahan tidak cocok untuk singkong.
-
Mentan mengingatkan bahwa keterterpaan parsial menyebabkan proyek tak berlanjut.
-
Kritik datang dari organisasi lingkungan yang menyebut food estate sebagai “bencana baru”, bukan solusi pangan.
-
Lahan mangkrak di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan proyek tidak konsisten berjalan.
Rekomendasi Agar Proyek Pangan Besar Tak Lagi Gagal
-
Lakukan kajian mendalam terlebih dahulu
Tanah, hidrogeologi, iklim, dan karakteristik sosio-kultural wajib dikaji. -
Libatkan petani lokal sejak awal
Petani harus ikut dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan manajemen. -
Fokus pada teknologi yang mudah diterapkan
Pilih teknologi tepat guna dan sampaikan pelatihan intensif bagi petani. -
Bangun sistem pembiayaan transparan dan akuntabel
Anggaran harus dipantau publik, audit dilakukan rutin. -
Pertahankan keberagaman komoditas
Jangan hanya monokultur; kombinasi tanaman lokal dan pangan pokok lebih aman. -
Jaga ekosistem dan zona buffer lingkungan
Hindari pembukaan hutan tanpa kajian, lindungi lahan gambut dan habitat. -
Desentralisasi pengambilan keputusan
Biarkan pemerintah daerah dan komunitas lokal berperan aktif.
Proyek Mega Food Estate punya potensi besar jika berjalan dengan teliti, adil, dan berkelanjutan. Namun, selama pola lama terus dijalankan — memaksakan lahan, mengabaikan masyarakat, mengutamakan keuntungan korporasi — kegagalan terus menghantui.
Kegagalan bukanlah musibah tak terhindarkan kalau kita belajar dari sejarah, mendesain ulang kebijakan, serta menempatkan manusia dan lingkungan sebagai pusat pembangunan.