Politik

Ahmad Sahroni Berang ke DPR: “Rakyat Sudah Muak, Bubarkan Saja!

Malangtoday.id –  Gelombang kritik pedas kembali menghantam institusi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Kali ini, suara keras itu justru datang dari internal dewan sendiri. Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR yang juga merupakan Wakil Gubernur DKI Jakarta non-aktif, menyulut kontroversi dengan luapan amarahnya yang berujung pada seruan untuk membubarkan DPR.

Ucapan tersebut bukan datang tanpa alasan. Sahroni, yang dikenal vokal, menyatakan bahwa kekecewaannya telah memuncak melihat kinerja dan sejumlah keputusan dewan yang dinilainya tidak aspiratif dan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Lantas, apa yang memicu kemarahan politikus NasDem ini? Bagaimana kronologi dan tanggapan dari berbagai pihak? Simak analisis lengkapnya berikut ini.

Pemicu Kemarahan Ahmad Sahroni

Kemarahan Sahroni bukanlah ledakan yang terjadi dalam satu malam, melainkan akumulasi dari berbagai persoalan yang ia lihat dan alami secara langsung. Beberapa poin kunci yang menjadi pemicu utamanya adalah:

  1. Lambatnya Pembahasan RUU Penting: Sahroni menyinggung lambannya pembahasan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dinilai crucial untuk kepentingan rakyat. Ia menilai DPR lebih memprioritaskan pembahasan RUU yang tidak substansial dan tidak menyentuh langsung kebutuhan mendasar masyarakat, seperti pangan, energi, dan lapangan kerja.

  2. Kesenjangan antara Wakil Rakyat dan Rakyat: Salah satu kalimat yang paling viral dari pernyataannya adalah, “Rakyat sudah muak!”. Sahroni merasa ada jarak yang semakin lebar antara wakil rakyat di Senayan dengan konstituen yang mereka wakili. Keputusan-keputusan yang diambil dianggap elitis dan tidak menyelesaikan masalah riil di akar rumput.

  3. Masalah Internal dan Kode Etik: Beberapa pemberitaan juga menyoroti potensi konflik internal dan pelanggaran kode etik yang terjadi di dalam dewan. Sahroni, yang duduk di Komisi III yang membidangi hukum, mungkin melihat praktik-praktik yang tidak sejalan dengan prinsip good governance, yang akhirnya memicu kegeramannya.

Kronologi dan Pernyataan Kontroversial

Ahmad Sahroni melontarkan kritiknya tersebut dalam sebuah acara talkshow di sebuah stasiun televisi nasional. Dengan nada tinggi dan raut wajah yang serius, ia tidak lagi menggunakan bahasa diplomatis yang biasa digunakan para politisi.

“Saya marah besar kepada DPR. Kalau memang tidak bisa bekerja dengan baik, lebih baik bubarkan saja!” ujarnya tanpa tedeng aling-aling.

Ia melanjutkan, “Lihat saja, rakyat di luar sana sudah muak dengan tingkah polah kita. Harga-harga kebutuhan pokok mahal, lapangan kerja susah, tapi kita di sini sibuk berdebat hal-hal yang tidak penting. Malu saya!”

Pernyataan ini langsung menjadi viral di media sosial dan menjadi headline di berbagai portal berita. Banyak netizen yang menyoroti keberanian Sahroni yang berani “membongkar” persoalan dari dalam, meski tidak sedikit yang menilainya sebagai bagian dari politik pencitraan.

Tanggapan dari Berbagai Pihak

Ledakan Sahroni tentu saja menuai beragam reaksi dari koleganya sesama anggota dewan dan pengamat politik.

  • DPR melalui Jubirnya: Pihak DPR melalui juru bicaranya merespons dengan lebih kalem. Mereka menyatakan bahwa kritik dari internal adalah hal yang wajar dalam sebuah lembaga demokratis. DPR mengaku akan menampung semua masukan, termasuk dari Sahroni, untuk dilakukan evaluasi internal guna peningkatan kinerja ke depan.

  • Sesama Anggota DPR: Reaksi dari anggota DPR lain terbelah. Sebagian mendukung sikap kritis Sahroni dan mengakui bahwa memang ada banyak hal yang harus dibenahi. Sebagian lain justru menyayangkan cara Sahroni yang dianggap tidak etis karena “mencuci baju kotor” di depan publik dan merusak citra institusi DPR secara keseluruhan.

  • Pengamat Politik: Para pengamat politik melihat pernyataan Sahroni ini sebagai sebuah political wake-up call atau alarm bagi DPR. Mereka menilai bahwa seruan “bubarkan saja” adalah metafora dari kekecewaan yang sangat dalam, yang juga merepresentasikan suara sebagian besar masyarakat. Namun, ada juga yang skeptis dan melihatnya sebagai strategi politik Sahroni untuk menjaga elektabilitas dan citra di mata publik, mengingat posisinya sebagai Wagub DKI non-aktif.

Analisis: Bisakah DPR Dibubarkan?

Seruan “bubarkan DPR” tentu tidak bisa dilakukan secara semena-mena. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, DPR tidak dapat dibubarkan oleh presiden, partai politik, atau individu mana pun. Hal ini dijamin oleh konstitusi UUD 1945.

DPR adalah lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Satu-satunya cara untuk “membubarkan” DPR adalah melalui mekanisme pemilihan umum berikutnya, di mana rakyat memiliki hak untuk tidak memilih kembali anggota dewan yang dinilai tidak berkinerja baik.

Oleh karena itu, seruan Sahroni harus dilihat sebagai bentuk kritik simbolik yang sangat keras, sebuah cara untuk menggugah kesadaran dan meminta introspeksi mendalam bagi seluruh anggota dewan, bukan sebagai seruan yang bersifat hukum formal.

Dampak dan Pelajaran ke Depan

Ledakan Ahmad Sahroni ini memberikan beberapa pelajaran penting:

  1. Cerminan Suara Rakyat: Apa yang disampaikan Sahroni adalah gema dari keluhan yang telah lama disuarakan masyarakat. Ini menjadi bukti bahwa tekanan publik terhadap kinerja DPR sangat besar.

  2. Pentingnya Akuntabilitas: Setiap anggota dewa harus selalu diingatkan bahwa mereka adalah abdi rakyat. Setiap kebijakan, perkataan, dan tindakan mereka harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

  3. Kritik Internal yang Konstruktif: Meski disampaikan dengan emosi, kritik dari internal seperti ini bisa menjadi momentum untuk membenahi diri. Diharapkan ke depan, DPR dapat lebih membuka telinga dan bekerja lebih cepat, efektif, dan aspiratif.

Kesimpulan

Kemarahan Ahmad Sahroni bukan sekadar drama politik sesaat. Itu adalah simtom dari penyakit yang lebih besar yang sedang dihadapi institusi DPR, yaitu krisis kepercayaan dari rakyat. Seruan untuk “membubarkan DPR” adalah alarm keras bahwa sudah saatnya para wakil rakyat kembali ke khittah-nya: mendengar, melayani, dan memperjuangkan suara rakyat yang telah memilih mereka.

Momentum ini harus ditangkap sebagai kesempatan untuk reformasi internal. Jika tidak, bukan tidak mungkin kekecewaan rakyat akan terealisasi dalam kotak suara pada pemilihan umum mendatang, yang pada hakikatnya adalah mekanisme “pembubaran” yang sesungguhnya dalam sistem demokrasi kita.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button