
Malangtoday.id – Pemerintah kini menetapkan BBM wajib mengandung etanol 10 persen (E10) sebagai standar nasional. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, memimpin kebijakan ini sebagai bagian dari strategi energi bersih, pengurangan impor, dan percepatan ekosistem biofuel. Namun, industri etanol dalam negeri menghadapi berbagai tantangan teknis dan logistik. Artikel ini menggali sejauh mana kesiapan industri dan hambatan yang masih harus diatasi.
Alasan Pemerintah Terapkan E10
Bahlil menyampaikan bahwa kebijakan E10 bertujuan menekan ketergantungan Indonesia pada impor bahan bakar fosil. Pemerintah menilai sumber bahan baku etanol—seperti tebu, jagung, dan singkong—tersedia di dalam negeri, sehingga rantai pasok dapat dikuasai sendiri. Selain itu, pencampuran etanol diproyeksikan menurunkan emisi karbon dari pembakaran BBM fosil, mendukung komitmen lingkungan nasional.
Presiden Prabowo Subianto menyetujui rencana mandat etanol 10% dalam rapat terbatas. Saat ini pemerintah tengah menyusun peta jalan implementasi E10 di seluruh SPBU nasional.
Respons Industri & Pertamina
PT Pertamina menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan E10. Direktur Utama Simon Aloysius Mantiri menegaskan bahwa Pertamina sudah menjalankan produk berbahan etanol seperti E5 (Pertamax Green 95) dan siap beralih ke E10 bila peraturan resmi berlaku.
Industri bioetanol nasional menyatakan kesiapan terbatas. Mereka menyebut kekurangan kapasitas produksi dan belum merata pembangunan pabrik etanol sebagai kendala utama. Bahlil mengakui bahwa pabrik etanol berbahan tebu di Merauke dan pabrik singkong lain masih dalam tahap pemetaan.
Beberapa pengamat otomotif juga melihat bahwa sebagian besar kendaraan modern di Indonesia sudah mendukung etanol hingga 20 persen, sehingga transisi ke E10 tidak menimbulkan masalah besar bagi mesin.
Hambatan Teknis & Infrastruktur
Kapasitas Produksi Lemah
Produksi etanol nasional saat ini belum mencapai skala yang memadai untuk memenuhi kebutuhan seluruh SPBU. Pabrik-pabrik baru masih dalam tahap pembangunan dan belum siap operasi penuh. Kecepatan proyek ini sangat memengaruhi kelancaran pasokan.
Ketersediaan Bahan Baku
Walau tebu, jagung, dan singkong tumbuh di banyak wilayah, distribusi dan alokasi bahan baku ke pabrik etanol belum optimal. Beberapa daerah menghasilkan bahan baku yang jauh dari lokasi pabrik, sehingga ongkos angkut tinggi.
Logistik dan Distribusi
Penyaluran etanol dari pabrik ke stasiun pengisian memerlukan infrastruktur khusus seperti jalur pengiriman, tangki penampung, dan fasilitas pencampuran di depo SPBU. Banyak depo dan SPBU belum memiliki fasilitas yang kompatibel dengan etanol.
Standarisasi & Pengawasan Mutu
Pemerintah harus memastikan standar etanol (kemurnian, kelembapan, kontaminan) tetap konsisten guna menjaga keamanan mesin kendaraan. Pengawasan mutu harus berjalan ketat agar pengguna tidak dirugikan.
Strategi Pemerintah Mempercepat Implementasi
-
Peta Jalan dan Tahapan Bertahap
Pemerintah menyusun roadmap E10 secara bertahap. Waktu implementasi direncanakan dalam 2–3 tahun guna memberi ruang adaptasi industri. -
Pembangunan Pabrik Etanol Baru
Pemerintah memilih Merauke, Papua Selatan, sebagai lokasi pabrik tebu etanol baru. Fasilitas ini diharapkan mulai aktif pada 2027. -
Subsidi atau Insentif
Pemerintah bisa memberikan insentif fiskal, kemudahan izin, dan dukungan keuangan untuk investasi industri etanol agar pembangunan berjalan cepat. -
Kolaborasi Swasta dan Daerah
Pemerintah mendorong kerja sama antara investor, pemerintah daerah, dan petani bahan baku agar rantai pasok lokal tumbuh kuat. -
Uji Coba dan Pilot Project
Sebelum skala nasional, pemerintah dan Pertamina akan menjalankan pilot E10 di wilayah-wilayah terpilih untuk mengevaluasi performa mesin dan logistik.
Seberapa Siap Industri Nasional?
Berdasarkan kondisi terkini, industri nasional tersiap sebagian, tapi belum sepenuhnya siap. Dukungan infrastruktur, kesiapan pabrik, dan suplai bahan baku masih memerlukan percepatan. Jika pemerintah dan swasta bergerak cepat dan terkoordinasi, transisi ke E10 bisa terealisasi tanpa gesekan besar.