BeritaPeristiwa

7 Dari 10 Siswa di Indonesia Mengaku Pernah Jadi Korban Bullying: Luka Sosial yang Tak Kunjung Reda

malangtoday.id – Lingkungan sekolah seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan tumbuh. Namun kenyataannya jauh dari ideal. Hampir 7 dari 10 siswa di Indonesia mengaku pernah menjadi korban bullying. Temuan ini menunjukkan angka yang mengkhawatirkan dan mengundang keprihatinan. Atmosfer yang seharusnya mendukung malah menjadi ladang luka sosial yang tersembunyi namun nyata. Sekolah, guru, teman sebaya, bahkan dunia maya turut berperan dalam fenomena ini. Tulisan ini membuka tabir perundungan di kalangan pelajar, menyusuri akar penyebab, dampak yang muncul, dan bagaimana kita bisa meresponnya secara aktif.

Akar Masalah: Mengapa Bullying Terus Berlangsung?

Pertama, budaya lelucon yang kelewat batas sering memicu tindakan bullying. Guyonan yang tampak hanya bercanda bisa berubah menjadi mekanisme pengucilan atau penghinaan. Kedua, perbedaan sosial-ekonomi, fisik, atau kondisi khusus (anak berkebutuhan khusus) memperkuat posisi korban. Ketiga, teknologi memberikan ruang baru bagi bullying: chat grup, media sosial, pesan pribadi—alias cyberbullying—yang membuat korban tak bisa lepas dari tekanan. Separuh lebih korban juga mengaku mengalami bullying dalam dunia digital. Keempat, sistem pengawasan dan respons di lingkungan sekolah sering lemah. Banyak insiden terjadi tanpa penanganan serius hingga korban menanggung beban sendirian. Kondisi inilah yang menciptakan sirkulasi terus-menerus dari luka sosial yang belum kunjung sembuh.

Dampak Nyata terhadap Korban dan Lingkungan Sekolah

Korban bullying menanggung beban yang lebih dari sekadar memerahnya pipi atau terlontarnya kata kasar. Mereka mengalami trauma psikologis, kerentanan terhadap depresi, cemas, dan bahkan depresi berat. Studi di luar negeri menemukan bahwa siswa yang mengalami bullying punya risiko hingga 3-5 kali lebih besar mengalami masalah mental dibanding yang tidak. Kerugian tak hanya pada individu: sekolah kehilangan iklim belajar yang sehat, siswa merasa takut, enggan hadir, atau aktif di kelas. Beberapa kasus ekstrem menunjukkan korban sampai memilih jalan tragis akibat tak mampu menghadapi beban perundungan. Fakta-fakta ini menegaskan bahwa bullying bukan sekadar masalah kecil, tetapi luka sosial yang menggerus kualitas pendidikan dan kehidupan.

Data Terbaru: Angka, Kasus, dan Tren Terkini

Temuan survei terbaru menunjukkan angka yang lebih tinggi dari sebelumnya: sekitar 70% siswa Indonesia pernah jadi korban bullying. Kasus-kasus terkini pun menunjukkan eskalasi kekerasan, baik fisik maupun digital. Contohnya, pada Oktober 2025 dilaporkan beberapa siswa meninggal dunia di sekolah akibat perundungan yang berujung fatal. Sekolah bukan lagi sekadar ruang pelajaran, tetapi arena konflik di mana korban dan pelaku tumbuh berdampingan. Angka ini jauh melampaui data dari survei sebelumnya yang mencatat sekitar 41% siswa pernah mengalami bullying. Perubahan besar ini menunjukkan bahwa fenomena ini tak hanya bertahan tapi juga berkembang dalam bentuk dan intensitas.

Strategi Penanganan: Apa yang Bisa Dilakukan Sekolah, Orang Tua, dan Siswa?

Pertama, sekolah harus menciptakan lingkungan yang terbuka dan aman untuk curhat dan laporan. Guru dan staf perlu dilatih mendeteksi bullying, termasuk dalam bentuk digital. Kedua, orang tua harus aktif memantau aktivitas anak di media sosial, membangun komunikasi terbuka, dan memberi dukungan emosional yang kuat. Ketiga, siswa perlu diberdayakan sebagai agen perubahan: mereka bisa menjadi sekutu korban, bukan hanya penonton. Program pendampingan sebaya bisa sangat efektif. Keempat, aturan dan sanksi terhadap pelaku harus jelas dan konsisten diterapkan agar efek jera muncul. Terakhir, intervensi sejak dini sangat penting—setiap sekolah harus punya mekanisme cepat untuk merespon laporan bullying, memberi pendampingan korban dan pelaku sebelum situasi memburuk.

Kesimpulan: Menyembuhkan Luka Sosial, Membuka Ruang Aman

Fenomena bahwa 7 dari 10 siswa di Indonesia pernah jadi korban bullying adalah alarm keras bagi dunia pendidikan dan masyarakat. Bullying bukan sekadar konflik antar teman, tetapi luka sosial yang memengaruhi kesejahteraan siswa dan kualitas sekolah. Kita punya tanggung jawab bersama—sekolah, orang tua, siswa, dan pemerintah—untuk membangun sistem yang memutus siklus perundungan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button